Faktor Ini Buat Rupiah Hancur Lebur !!!

Rupiah alami pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) selama beberapa hari terakhir. Sentimen dari dalam dan luar negeri menjadi penekan mata uang Garuda ini.

Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup di angka Rp16.155/US$ pada perdagangan Rabu (29/5/2024) atau melemah 0,44%.

Depresiasi rupiah ini telah terjadi selama tiga hari beruntun yakni sejak 27 Mei 2024 dan posisi kali ini merupakan yang terendah sejak 2 Mei 2024.

Beberapa alasan baik dari dalam maupun luar negeri ditengarai menjadi alasan lemahnya mata uang Garuda dihadapan Greenback (dolar AS).

1. Risalah The Fed Tunjukkan Kekhawatiran

Bank sentral AS (The Fed) telah merilis hasil Federal Open Meeting Committee (FOMC) minutes pada Kamis dini hari (23/5/2024) waktu Indonesia yang menunjukkan kekhawatiran dari para pengambil kebijakan tentang kapan saatnya untuk melakukan pelonggaran kebijakan.

Pertemuan tersebut menyusul serangkaian data yang menunjukkan inflasi masih lebih tinggi dari perkiraan para pejabat The Fed sejak awal tahun ini. Sejauh ini, The Fed masih menargetkan inflasi melandai 2%.

"Para pejabat mengamati bahwa meskipun inflasi telah menurun selama setahun terakhir, namun dalam beberapa bulan terakhir masih kurang ada kemajuan menuju target 2%" demikian isi risalah The Fed.

Risalah juga menjelaskan bahwa "Sebagian pejabat menyatakan kesediaan-nya untuk memperketat kebijakan lebih lanjut guna mengatasi risiko inflasi yang masih panas"

Untuk diketahui, inflasi konsumen (CPI) AS saat ini berada di posisi 3,4% year on year/yoy pada April 2024 atau lebih rendah dibandingkan periode Maret 2024 yang berada di angka 3,5% yoy

2. Manufaktur dan Konsumsi AS Masih Kuat

Kondisi manufaktur AS terpantau mengalami penguatan ditandai oleh PMI Manufaktur AS Global S&P naik menjadi 50,9 pada Mei 2024, meningkat dari 50 pada bulan April.

Angka tersebut menandakan sedikit perbaikan secara keseluruhan pada kondisi bisnis di sektor manufaktur, karena output dan lapangan kerja memberikan kontribusi yang semakin positif.

Ekonom Bank Danamon, Irman Faiz mengatakan bahwa indeks manufaktur AS yang menguat menjadi salah satu pendorong rupiah semakin tertekan.

3. Impor RI Alami Kenaikan dan Transaksi Berjalan Defisit

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan impor Indonesia mengalami kenaikan sebesar 4,62% yoy pada April 2024 menjadi US$16,06 miliar. Hal ini khususnya didorong oleh impor nonmigas dari yang sebelumnya US$12,39 miliar pada April 2023 menjadi US$13,1 miliar pada April 2024.

Sementara berdasarkan nilai impor menurut penggunaannya, impor barang konsumsi, bahan baku/penolong, dan barang modal alami kenaikan secara tahunan.

Ketika impor alami lonjakan baik secara jumlah maupun nominal, hal ini akan berdampak buruk bagi rupiah karena penjualan produk dalam negeri berpotensi alami penurunan karena harus bersaing dengan produk luar negeri yang membanjiri Tanah Air.

Lebih lanjut, semakin tingginya impor, maka neraca perdagangan Indonesia akan semakin sulit mengalami surplus yang cukup besar dan berujung pada keuntungan yang didapatkan oleh negara akan semakin menipis atau bahkan berpotensi alami defisit.

Ketika hal tersebut terjadi, maka jumlah simpanan dolar AS di dalam negeri akan berpotensi tergerus dan berujung kepada depresiasi rupiah.

Defisit pada transaksi berjalan dan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) juga semakin memperburuk kinerja rupiah.

Transaksi berjalan terpantau defisit sebesar US$2,2 miliar (0,6% dari Produk Domestik Bruto/PDB), angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan defisit US$1,1 miliar (0,3% dari PDB) pada kuartal IV-2023.

Defisit transaksi berjalan ini disebabkan oleh penurunan surplus neraca perdagangan barang dan peningkatan defisit neraca pendapatan primer. Defisit pada neraca jasa juga menjadi penyebab lain dari membengkaknya defisit transaksi berjalan.

Transaksi berjalan sudah mencatat defisit dalam empat kuartal beruntun. Defisit sepanjang empat kuartal beruntun ini juga cukup mengkhawatirkan karena sejak Presiden Jokowi memimpin RI, transaksi berjalan selalu berada di zona merah kecuali pada 2022 di tengah terjadi commodity boom yang diikuti harga komoditas andalan RI mengalami kenaikan, seperti batu bara dan crude palm oil (minyak kelapa sawit).

Sementara itu,  NPI mengalami defisit US$6 miliar dari yang sebelumnya pada kuartal IV-2023 surplus US$8,6 miliar atau berbalik arah lebih dari US$14 miliar

CNBC INDONESIA RESEARCH